Basa Sunda dan Boso Jowo
Sebagai Orang Sunda yang sedang menempuh kuliah di Malang dengan mayoritas penduduknya adalah Orang Jawa, saya merasakan betul perbedaan karakter dan budaya di berbagai hal, salah satu perbedaan yang kentara adalah bahasa.
Percaya atau tidak, entah sebagai Orang Sunda atau Orang Jawa itu sendiri, perbedaan bahasa ini kadang-kadang jadi bahan interaksi yang mengasyikan. Jadi begini.
Pagi itu selepas lari pagi di kampus, ban depan motor saya bocor, terpaksa harus saya tuntun hingga sampai tempat tambal ban terdekat. Beruntunglah saya karena di depan kampus ada tukang tambal ban keliling.
“Bocor di mana ini?” Tanya tukang tambal tersebut seraya memakirkan motor saya.
“Gatau pak, abis lari di kampus tadi bocor.” Jawab saya.
Sembari tukang tambal itu membetulkan ban motor saya, kami berdua banyak bercakap tentang pekerjaan, khususnya sebagai tukang tambal ban keliling. Saking serunya, enggak kerasa ban motor saya hampir selesai. Cepat juga saya pikir.
“Asli mana mas?” Tanya tukang tambal tersebut sembari memasukan ban dalam saya ke ban utama.
“Saya asli Jawa Barat pak, Kuningan, itu, dekat Cirebon,” saya sebut Jawa Barat karena orang-orang biasanya tahu Kuningan itu di Jakarta. Saya sebut Cirebon karena banyak orang tidak tahu Kuningan di Jawa Barat itu di mana.
“Saya Orang Sunda pak, jadi agak sulit kalau ngomong Jawa. Bapak bisa ngomong Sunda pak?” Tanya saya balik. Entah kenapa saya kadang-kadang bertanya hal ini, mungkin karena senang kalau nemu orang yang bisa bahasa Sunda di Malang ini, makannya dalam beberapa kesempatan saya selalu menanyakan hal ini. Hehe.
“Ora iso lah mas, haha.” Jawab bapak itu sambil tertawa kecil.
“Oiya pak, ada bahasa Jawa dan Sunda yang sama tapi artinya beda. Kalau nyokot di Jawa kan artinya gigit ya pak, nah kalau di Sunda itu artinya ambil pak.” Tetiba saya kepikiran kata itu.
“Kalau Orang Sunda yang pertama kali naik kereta terus lewat Nganjuk itu suka bilang hutang, soalnya arti nganjuk itu hutang.” Tambah saya, suka aja kalau menjelaskan cerita lucu yang ini, hehe.
“Ah masa nyokot itu ngambil.” Sanggah bapak itu seolah enggak percaya.
“Bener pak, haha.” Kata saya sembari cengar-cengir.
“Yaudah ini udah beres mas.”
“Sekalian tambah angin untuk roda belakangnya ya pak.”
“Kalau tambah bahasa sundanya apa?” Tanya bapak itu lagi sembari menyiapkan mesin untuk menambah angin.
“Tambahkeun pak, atau kalau yang halus itu tambihan.” Jawab saya.
“Tambahkeun,” bapak itu mengulang kata yang saya ucapkan.
“Lucu ya bahasanya.” Tambah bapak itu.
Saya tertawa tipis.
Karena penasaran, saya coba cari beberapa kata yang sama dalam bahasa Sunda dan Jawa namun memiliki arti yang beda. Ternyata banyak juga.
Tentu, jika kalimat “urang atos nyokot gedang amis” diterjemahkan ke dalam dua bahasa itu maka akan memiliki arti yang berbeda. Menarik bukan?
Malang,
Ibnu Dharma Nugraha